DPRD Sumut dan Luka Kebebasan Pers


SUARAPERJUANGAN.COM
| Medan - Masih membekas luka di kalangan jurnalis, Sekretaris Komisi E, Edi Surahman Sinuraya berperilaku arogan terhadap wartawan Mistar di Ruangan Rapat Komisi E saat pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dinas Pendidikan Sumut.

Pasalnya, pada saat wartawan Mistar baru masuk di dalam ruangan Komisi E dan meliput situasi rapat bersama Dinas Pendidikan Sumut, Edi Surahman Sinuraya bersikap tidak beretika dengan mengusir wartawan secara kasar dan tidak mencerminkan perilaku sebagai wakil rakyat.

“Kamu siapa? Kamu siapa?, ngapain kamu di sini?” ucap Edi pada wartawan sembari berdiri dari kursi pimpinan rapat dan mengusir wartawan Mistar dengan mendongakkan kepala sembari mengucapkan nada keras, Senin (15/9/2025) di Ruang Komisi E DPRD Sumut.

Aktivis dan pengamat politik Dr.Shohibul Anshor Siregar, Drs,.M.Si angkat bicara,sabtu (20/09/2025) Pengusiran wartawan oleh anggota DPRD Sumut, Edi Surahman Sinuraya, dalam rapat dengar pendapat dengan Dinas Pendidikan adalah tamparan bagi demokrasi. Wartawan hadir tanpa pernah diberitahu bahwa rapat tertutup. Ia hanya menjalankan mandat konstitusional pers: mencari dan menyampaikan informasi publik. Tindakan mengusir, apalagi dengan cara arogan, bukan sekadar persoalan etika, melainkan berpotensi melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Pers No. 40/1999 yang tegas melarang penghalangan kerja jurnalis dan mengancam pidana hingga dua tahun.

Argumentasi bahwa rapat bersifat tertutup tidak serta-merta membenarkan pengusiran, sebab prosedur penutupan rapat harus jelas dan diumumkan sejak awal. Tanpa itu, pengusiran hanya menunjukkan sikap sewenang-wenang. DPRD sebagai representasi rakyat justru memperlihatkan wajah tertutup, padahal fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran hanya sah bila dikawal publik, antara lain melalui media.

Secara etis, perilaku membentak wartawan memperlihatkan rendahnya penghormatan terhadap pers. Padahal pers bukan musuh, melainkan mitra demokrasi yang memastikan rakyat mengetahui kerja wakilnya. Partai Golkar memang harus memanggil Edi, tetapi teguran saja tidak cukup. Dibutuhkan sanksi nyata dan perbaikan prosedur internal DPRD agar kejadian serupa tidak berulang.

Kasus ini adalah pengingat bahwa kebebasan pers bukan sekedar hak jurnalis, tetapi hak publik untuk tahu. Setiap kali pejabat publik menghalangi kerja pers, yang dirampas bukan hanya kemerdekaan wartawan, melainkan juga hak rakyat atas informasi. Demokrasi tanpa keterbukaan hanyalah formalitas; dan keterbukaan hanya hidup bila pers dibiarkan bekerja tanpa intimidasi,ungkap Dr.Shohibul Anshor Sitegar, Drs,.M.Si kepada awak media.(Red)

Posting Komentar

0 Komentar