Langkat, Suaraperjuangan.com - Di tengah gencarnya wacana pelestarian budaya sebagai bagian dari identitas bangsa, realita di Kabupaten Langkat justru menunjukkan ironi yang menyedihkan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga warisan budaya, justru terkesan abai, bahkan lalai dalam menjalankan tugasnya. Kebudayaan di Langkat, yang kaya akan tradisi, seni, dan kearifan lokal, perlahan-lahan terkikis oleh ketidakpedulian birokrasi dan mentalitas korup yang mengakar.
Salah satu cerminan nyata dari bobroknya pengelolaan kebudayaan adalah kurangnya program yang berkelanjutan dan berdampak langsung kepada pelaku budaya lokal. Banyak sanggar seni dan komunitas budaya yang menggantungkan harapan pada dukungan pemerintah, namun tak kunjung mendapatkan ruang maupun fasilitas yang memadai. Alih-alih memberdayakan, dinas justru cenderung menampilkan budaya secara seremonial dan artifisial demi laporan tahunan—tanpa menyentuh akar permasalahan sebenarnya.
Minimnya pendataan dan pelestarian terhadap situs budaya, artefak sejarah, serta tradisi lisan menjadi bukti betapa buruknya manajemen dan perhatian terhadap kekayaan budaya Langkat. Banyak situs bersejarah terbengkalai, tidak terurus, bahkan hilang identitasnya. Ironisnya, anggaran rutin terus diserap, namun output nyaris tak terlihat. Dana kegiatan lebih sering terserap untuk proyek-proyek pendekatan pragmatis seperti “event-event wisata” yang lebih mengedepankan aspek ekonomi sesaat ketimbang pelestarian nilai-nilai budaya.
Tak hanya itu, keberpihakan terhadap generasi muda sebagai pewaris budaya nyaris tidak terasa. Tidak ada upaya konkret yang melibatkan organisasi kebudayaan, sekolah, pesantren, atau komunitas lokal dalam pembelajaran budaya. Pendidikan karakter berbasis kearifan lokal yang seharusnya menjadi kebijakan strategis, hanya berhenti di dokumen-dokumen perencanaan tanpa aksi nyata.
Masalah klasik seperti nepotisme, lemahnya pengawasan internal, dan ketidaktegasan dalam mempertanggungjawabkan anggaran turut memperparah keadaan. Banyak laporan masyarakat tentang dugaan penyelewengan dana kebudayaan yang tak pernah ditindaklanjuti secara serius. Ini menunjukkan bahwa Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Langkat tidak hanya bobrok dalam fungsi teknis, tapi juga dalam hal integritas.
Langkat seharusnya menjadi contoh bagaimana kekayaan budaya bisa menjadi kekuatan identitas daerah. Namun selama pengelolaan kebudayaan masih dipegang oleh birokrat yang hanya mencari keuntungan pribadi, maka jangan berharap warisan leluhur akan bertahan di tengah arus modernisasi.
Sudah saatnya masyarakat sipil, pelaku budaya, dan pemuda bangkit, menuntut reformasi struktural dan perombakan besar dalam tubuh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Jika tidak, maka kita akan menjadi generasi yang menyaksikan budaya kita sendiri hilang—bukan karena tergerus zaman, tetapi karena dikhianati oleh mereka yang seharusnya menjaganya.(R)
0 Komentar