Medan,suaraperjuangan.id -Potensi terpapar COVID-19 dan penurunan kemampuan belajar (learning loss) menjadi dua ancaman yang mengintai anak-anak di Medan, jika pemerintah kota (pemko) membuka sekolah tanpa strategi dan rencana detail. Ada banyak titik yang berpotensi membuat anak terpapar COVID-19 ketika sekolah benar-benar dibuka. Salah satunya saat anak menggunakan kendaraan umum untuk pergi dan pulang dari sekolah.
Potensi anak terpapar semakin besar karena mereka harus duduk berdesakan bersama penumpang lain. Jika merujuk protokol kesehatan (prokes) 3 M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak), maka kapasitas penumpang kendaraan umum seharusnya berkurang sampai 50 persen.”Tapi siapa yang harus bertanggung jawab memastikan kendaraan umum itu taat prokes 3M? Tidak mungkin sekolah dan orangtua. Pemko Medanlah yang harus menjamin setiap kendaraan umum yang beroperasi aman untuk anak. Itu sebabnya harus ada skenario dan koordinasi lintas OPD yang jelas sebelum sekolah dibuka,” terang pakar pendidikan Dr. Hj. Fitriani Manurung kepada wartawan di Medan, Kamis (24/12).
Fitriani mengatakan, Pemko Medan tidak bisa hanya melihat pelaksanaan prokes 3M dilingkungan sekolah saja, tetapi harus juga memitigasi potensi lain di luar sekolah. Pembukaan sekolah akan memicu lonjakan penggunaan fasilitas publik secara massif. “Pemko Medan harus punya rencana aksi yang detail, agar lonjakan ini tidak menciptakan kluster baru. Rencana ini harus dipublikasikan secara luas, agar masyarakat tahu dan bisa memberikan masukan,” tegas Wakil Ketua PDI-P Kota Medan ini.
Doktor pendidikan lulusan Universitas Negeri Medan (UNIMED) itu mengatakan, selain potensi terpapar COVID-19, ancaman kedua yang mengintai adalah learning loss. Selama 10 bulan ini, anak belajar dalam kondisi darurat dengan dukungan teknis yang terbatas dari guru. Kondisi ini membuat kemampuan belajar anak menurun drastis. Terutama anak-anak dari keluarga miskin. “Jika anak-anak ini harus kembali ke sekolah, maka Pemko Medan harus melakukan assessment ulang untuk memulihkan kemampuan belajar anak sebelum mereka kembali belajar pada tingkatan yang seharusnya,” ungkapnya.
Fitriani menekankan, jika anak-anak tetap dipaksa belajar tanpa proses assesmen dan pemulihan kemampuan, maka mereka berpotensi tertinggal jauh dari rekan sebayanya. Mereka tidak akan mampu mengikuti proses pembelajaran karena tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Jika dibiarkan terus menerus maka di masa depan, anak-anak itu berpotensi tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang layak karena kompetensinya tidak memadai.”Jika Pemko Medan mengabaikan fakta ini, maka masa depan anak-anak kita yang dipertaruhkan,” tukasnya.
Untuk mencegah terjadinya learning loss, diperlukan kebijakan pembelajaran yang terdiferensiasi. Anak-anak harus mendapatkan pembelajaran sesuai dengan kemampuannya (teaching at the right level), bukan lagi berdasarkan tingkatan kelasnya. Proses pemulihan ini dilakukan sampai kompetensi anak kembali, setelah itu anak baru dikembalikan ke kelas seharusnya.”Kebijakan-kebijakan seperti ini yang seharusnya dipikirkan dan dibuat oleh Pemko Medan saat merencanakan pembukaan sekolah. Kebijakan terdiferensiasi seperti ini tidak akan jalan kalau diserahkan begitu saja kepada guru. Pemko harus menindaklanjuti kebijakan pembelajaran terdiferensiasi dengan pelatihan, pendampingan, dan monitoring berkala kepada guru secara intensif,” tegas Ketua Majelis Taklim PDI-P Kota Medan ini.
Fitriani mengkritik dinas pendidikan (disdik) kota Medan yang dinilai kurang transparan dalam mengelola PJJ (pembelajaran jarak jauh). Disdik tidak merespon masukan dari sejumlah tokoh dan organisasi masyarakat untuk melakukan pemetaan pembelajaran. Sampai sekarang tidak ada data yang pernah dipublikasikan disdik tentang angka partisipasi belajar selama 10 bulan ini.”Faktanya pada Oktober lalu, seorang siswi kelas 2 SD di Medan ditemukan 8 bulan tidak mengikuti PJJ, hanya karena tidak memiliki hp android. Fakta ini ditemukan oleh media massa, bukan oleh disdik. Ini terjadi karena disdik tidak punya pemetaan,” tambahnya.
Fitriani mengatakan, disdik seharusnya bisa merangkul banyak pihak untuk melakukan pemetaan dan memperbaiki PJJ. Hasil survei yang diumumkan Yayasan Gugah Nurani Indonesia (GNI) pada September misalnya, bisa dipakai untuk melakukan pemetaan yang lebih besar. GNI menemukan, masih ada 33,49 persen siswa yang sama sekali tidak mengikuti PJJ. GNI bahkan menemukan, memiliki hp android tidak menjadi jaminan anak ikut PJJ setiap hari. Dari 125 siswa yang memiliki hp Android, hanya 29,60 persen yang setiap hari mengikuti pembelajaran. Sedangkan sisanya 70,40 persen pernah absen beberapa kali. “Angka 70,49 persen inilah berpotensi mengalami learning loss. Data-data seperti inilah yang seharusnya dimiliki disdik untuk memitigasi potensi learning loss dan membuat kebijakan. Kalau disdik tidak memiliki sumberdaya untuk melakukan pemetaan, mereka bisa mengandeng pihak lain,’’ tukasnya.
Fitriani mengingatkan Pemko Medan untuk lebih transparan dan partisipatif dalam merencanakan pembukaan sekolah. Sebagai kota besar ke tiga di Indonesia, Medan seharusnya bisa menjadi contoh baik dalam pengelolaan PJJ. Medan bahkan bisa menjadi pioneer untuk mengantisipasi learning loss.”Kita tidak menolak pembukaan sekolah, tetapi kita minta Pemko Medan untuk lebih akuntabel dan bisa lebih dipercaya. Pemko harus menunjukkan bahwa rencana pembukaan sekolah ini dilakukan dengan professional, berbasis data, dan melibatkan para ahli".(red)
0 Komentar