SUARAPERJUANGAN.COM|Lima Puluh Kota — Sikap Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Lima Puluh Kota, Deni Hendra Suryadi, kembali menjadi sorotan setelah dinilai menghindari tanggung jawab ketika awak media mempertanyakan pelaksanaan pengadaan obat-obatan dan bahan habis pakai. Respons pejabat tersebut dianggap tidak mencerminkan keterbukaan informasi yang seharusnya dijunjung pejabat publik.
Menurut wartawan Dendi, yang melakukan penelusuran, Deni Hendra tampak berusaha mengalihkan pertanyaan dengan menyebut bahwa konfirmasi harus diarahkan kepada Plt. Kepala Dinas Kesehatan, Wilda Reflita. Padahal, dalam struktur pelaksanaan kegiatan, Deni menjabat sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) yang mengetahui secara rinci pengadaan barang dan jasa tersebut.
“Beliau posisinya jelas sebagai PPTK, tapi ketika saya tanya soal teknis, jawabannya selalu diarahkan ke pimpinan. Ini janggal,” ungkap Dendi.
Sikap tersebut menimbulkan tanda tanya besar mengenai komitmen transparansi di internal Dinas Kesehatan. Proyek pengadaan obat-obatan merupakan kegiatan strategis yang menggunakan anggaran besar serta menyangkut kepentingan publik. Menurut Dendi, respon yang diberikan Deni Hendra justru semakin memperkuat dugaan bahwa ada persoalan yang tengah disembunyikan.
“Saya hanya ingin akurasi keberimbangan berita. Tapi cara beliau merespons membuat saya ragu bahwa semua berjalan sesuai aturan,” tambahnya.
Lebih lanjut, alih-alih memberikan klarifikasi yang wajar kepada media, Deni Hendra justru diduga melakukan tindakan kontraproduktif dengan memblokir nomor wartawan setelah beberapa kali menerima pertanyaan lanjutan terkait dugaan penyimpangan dalam pengadaan tersebut. Tindakan itu dinilai sebagai bentuk ketidaksiapan menghadapi kritik dan pengawasan.
Dendi menyebut bahwa pemblokiran itu terjadi setelah ia mengirimkan pertanyaan keempat. “Tidak ada kata kasar, tidak ada tekanan. Saya hanya mengirimkan pertanyaan lanjutan. Selang beberapa menit, nomor saya tidak bisa lagi menghubungi beliau. Ini sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang pejabat publik,” tegasnya.
Sikap tertutup pejabat tersebut mengundang reaksi keras dari berbagai pihak, salah satunya dari Ketua Corruption Investigation Committee (CIC) Luak Limopuluah, Syafri Ario, SH, S.Hum, yang mengecam tindakan Sekretaris Dinas Kesehatan tersebut. Ia menilai pemblokiran terhadap wartawan merupakan bentuk pelecehan terhadap fungsi kontrol publik.
“Ini bukan hanya tindakan tidak etis, tetapi juga mencurigakan. Ketika pejabat terkait anggaran publik mulai anti terhadap pertanyaan, biasanya ada sesuatu yang sedang ditutupi,” ujar Syafri Ario.
Ia menegaskan bahwa pejabat publik wajib bersikap terbuka dan kooperatif, terutama ketika berurusan dengan anggaran pengadaan barang dan jasa.
“Kalau tidak ada masalah, mestinya tidak sulit memberikan penjelasan. Kok malah menghindar? Sikap seperti ini memperlihatkan gejala ketertutupan yang berbahaya dalam birokrasi,” lanjutnya.
Dalam konteks hukum, tindakan menghambat akses informasi yang dilakukan pejabat publik bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang tersebut dengan tegas menjamin hak media untuk mencari dan memperoleh informasi demi kepentingan publik. Selain itu, kewajiban keterbukaan juga diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menegaskan bahwa pejabat publik harus memberikan informasi dengan benar dan transparan.
Pengamat tata kelola pemerintahan menilai bahwa ketertutupan pejabat publik dalam memberikan informasi mengenai proyek pengadaan sering kali menjadi indikator awal adanya ketidakwajaran dalam pelaksanaan kegiatan. Ketika pejabat yang bertanggung jawab menghindar dari konfirmasi, publik wajar mempertanyakan apakah anggaran benar digunakan sesuai ketentuan.
Dendi menegaskan bahwa tugasnya hanya memastikan informasi disampaikan secara benar kepada masyarakat. “Jurnalis bekerja untuk publik. Kalau pejabat publik tidak mau memberi klarifikasi, maka itu justru memperkuat urgensi liputan. Jangan sampai anggaran rakyat dimainkan dalam senyap,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, upaya konfirmasi lanjutan kepada Deni Hendra maupun pejabat lain di lingkungan Dinas Kesehatan belum mendapatkan jawaban. Publik kini menunggu langkah tegas dari Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota untuk memastikan bahwa pengelolaan anggaran pengadaan obat-obatan berjalan transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik curang yang merugikan masyarakat. (All)


0 Komentar