MEDAN, SUARAPERJUANGAN.COM - Limbah padat berwarna kuning mirip tanah diduga milik PT Bumi Karyatama Raharja (Bukara) dibuang sembarangan di Dusun I dan Dusun III Desa Hamparan Perak Deli Serdang dan di Jalan Marelan VII Medan Marelan.
Pantauan wartawan, Senin (5/2/2024) limbah padat kuning sisa atau limbah pengolahan refenery (penjernih minyak goreng) berupa bleacing eart dari PT Bukara itu dibawa mobil truk dan diturunkan ke lahan kosong dekat pemukiman masyarakat di Dusun I dan Dusun III Hamparan Perak serta di Jalan Marelan VII Pasar I Medan Marelan.
Ketiga lokasi tersebut, terdapat banyak rumah warga di sekitarnya. Dikhawatirkan, jika tak baik dikelola maka dampak limbah padat ini bisa mengganggu kesehatan maupun rusaknya karakteristik tanah.
Informasi dihimpun, oknum pengkordinir pembuangan limbah mengambil limbah padat mirip tanah itu dari PT Bukara dan dijual ke peminat dengan harga ratusan ribu per truk nya. Ironis memang, seharusnya perusahaan mengelola limbah padat sesuai aturan.
Sumber wartawan mantan karyawan PT Bukara belum lama ini menyebutkan, dalam produksi bahan refenery, berbahan dasar tanah liat kering (Bentonite) asal India dicampur Asam Sulfat (H2SO4) dan kapur Tohor. Prosesnya dimasak (steam) selama 12 jam lalu dicuci (washing) dengan air dan diendapkan. Setelah itu dilakukan pemisahan bahan refenery lalu spent bleaching earth dan air yang dicampur kapur tohor selanjutnya dipress hingga menjadi limbah berwarna kuning dan air sisa diolah di instalasi pengelohan air limbah.
Bleaching Earth PT Bukara merupakan limbah padat sisa pencucian Bentonite bercampur Asam Sulfat (H2SO4) yang air pencuciannya dicampur dengan Kapur Tohor yang menghasilkan campuran zat berwarna kuning. Warga sekitar menyebut limbah padat itu dengan sebutan ‘Tanah Kuning Bukara’.
Mendengar nama tanah, tentunya bisa digunakan untuk menimbun lahan rendah, kolam dan lain-lain. Selama ini, hal itulah yang berlangsung di sekitar Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deliserdang dan Kecamatan Medan Marelan Kota Medan.
Dikutip dari website Wikipedia Kapur Tohor alias Kapur Gaping atau Kapur tohor, atau dikenal pula dengan nama kimia kalsium oksida (CaO), adalah hasil pembakaran kapur mentah (kalsium karbonatatau CaCO3) pada suhu kurang lebih 90 derajat Celcius. Jika disiram dengan air, maka kapur tohor akan menghasilkan panas dan berubah menjadi kapur padam (kalsium hidroksida, CaOH)
Saat kapur tohor disiram dengan air, terjadi reaksi sebagai berikut: CaO (s) + H2O (l) Ca(OH)2 (aq) (ΔHr = −63.7 kJ/mol of CaO).
Dampak Kapur Tohor bagi manusia, Kapur Tohor dapat mengakibatkan alergi atau gatal-gatal.
Namun penyebutan, nama ‘Tanah Kuning Bukara’ atas limbah sisa produksi perusahaan penghasil Bleaching Earth ini memang telah dikenal lama oleh masyarakat yang tak tahu dimulai sejak kapan digunakan sebagai tanah timbun.
Aksi membuang limbah padat berupa Spent Bleaching Earth diduga melanggar aturan sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sesuai Peraturan Menteri (Permen) LHK nomor 10 tahun 2020 tentang Uji Karakteristik dan Penetapan Status Limbah B3.
POLISI LIDIK
Menanggapi info wartawan atas pembuangan limbah padat tersebut, Kapolres Pelabuhan Belawan AKBP Janton Silaban, Rabu (7/2/2024) menjelaskan, anggotanya telah melakukan penyelidikan atas pembuangan limbah padat itu.
Perwira Polri ini mengaku, Unit Tindak Pidana Tertentu Satreskrim Polres Pelabuhan Belawan telah mengecek lokasi pembuangan limbah padat PT Bukara itu. “Kami lidik. Info kanit tipiter saya sudah cek tkp,” pungkasnya.
Senada itu, Kanit Tipiter Satreskrim Polres Pelabuhan Belawan Iptu Herikson P Siahaan membenarkan proses pengecekan lokasi pembuangan limbah padat itu. “Sudah saya cek dari beberapa hari yang lalu bg.trims,” tulisnya menjawab wartawan di laman Whats App nya, Rabu (7/2/2024).
Sementara Kepala Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sumatera melalui Staff nya Leo Siregar pada wartawan, Selasa (6/2/2024) mengaku akan meregister guna menindaklanjuti informasi yang disampaikan media atas dugaan pembuangan limbah padat itu. “Ok diregistrasi,” katanya via pesan Whats App.
Informasi dihimpun media dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sumut melalui staff Pengelolaan B3 dan Persampahan Nico Silalahi, Senin (17/7/2023) lalu, sesuai Permen LHK Nomor 10 Tahun 2020 tentang Uji Karakteristik dan Penetapan Status Limbah B3 menyebutkan Spent Bleacing Eart dikategorikan limbah B3 yang penggunakannya bisa dilakukan dijadikan material misalnya batu bata dan lainnya.
Selanjutnya, disampaikan Nico, jika kadar minyak dalam Spent Bleacing Eart kurang dari 3 % bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan lain yang diberikan ke penerima baik perorangan maupun badan hukum yang disesuaikan Rencana Tekhnis Dokumen Lingkungan perusahaan penghasil limbah Spent Bleacing Eart.
Manajemen Security PT Bukara M Rauf dikonfirmasi wartawan, belum lama ini tak dapat menjelaskan, tentang dibuangnya limbah Spent Bleacing Earth oleh perusahaannya karena merupakan kewenangan Legal dan Humas perusahaan itu bernama Andry.
Hingga berita ini ditayangkan, mohon difasilitasi konfirmasi ke manajemen PT Bukara yang disampaikan melalui M Rauf tak mendapatkan jawaban. Di laman Whats App M Rauf hanya terlilhat 2 centang biru tanda pesan WA telah dibaca.
Sebagaimana dilansir https://dlhk.acehprov.go.id/2020/07/peraturan-menteri-lhk-nomor-10-tahun-2020-alternatif-solusi-klhk-untuk-pengelolaan-limbah-b3-spent-bleaching-earth/, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Rabu 23 Juni 2020 menyelenggarakan Webinar ‘Best Practise Pengelolaan Limbah B3 Spent Bleaching Earth (SBE)’.
Webinar ini diselenggarakan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3), KLHK, Rosa Vivien Ratnawati dalam pidatonya menyatakan bahwa, Spent Bleaching Earth (SBE) merupakan limbah padat B3 hasil proses penyulingan minyak sawit pada industri minyak goreng atau oleochemical.
Dari hasil penelitian, setiap 60 juta ton produksi minyak sawit menghasilkan 600 ribu ton limbah SBE. Peningkatan jumlah industri minyak nabati berdampak peningkatan jumlah limbah SBE sehingga akan menjadi masalah jika tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik.
Vivien menerangkan lebih lanjut, data Aplikasi Pelaporan Kinerja Pengelolaan Limbah B3 KLHK (SIRAJA) mencatat timbulan limbah SBE yang dihasilkan selama 3 (tiga) tahun terakhir terus meningkat. Tahun 2017 sebesar 184.162 ton, tahun 2018 meningkat sebanyak 637.475 ton serta tahun 2019 sejumlah 778.894 ton.
Vivien menyayangkan bahwa jumlah timbulan limbah SBE tidak sebanding dengan jumlah perusahaan pengelola SBE berizin, yang saat ini berjumlah 11 perusahaan dengan kapasitas total 116 ribu ton per tahun. “Gap antara limbah yang dihasilkan dengan limbah yang dimanfaatkan menyebabkan banyak SBE dibuang ilegal antara lain secara open dumping sebagai media urug”, terang Vivien.
Kabar baik dari KLHK, SBE sebagai Limbah B3 Sumber Spesifik Khusus, termasuk ke dalam 4 limbah B3 tertentu (SBE <3%, Fly ash, slag nikel, steel slag). Keempat limbah B3 tertentu di atas termasuk dalam kategori yang dipersingkat prosedur pengajuan pengecualian limbah B3. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK nomor 10 tahun 2020 tentang Uji Karakteristik dan Penetapan Status Limbah B3 yang baru diundangkan tanggal 4 Mei 2020.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3, Ahmad Gunawan Wicaksono menjelaskan bahwa peraturan terbaru ini meliputi pengaturan tentang Tim Ahli Limbah B3, Uji karakteristik limbah B3 untuk pengecualian dan penetapan status limbah B3, penetapan limbah B3 sebagai produk samping serta pemantauan dan pelaporan.
SBE sebagai limbah B3 sebenarnya masih memiliki berbagai manfaat. Dalam paparannya, Guru Besar Bidang Pengelolaan Limbah Agroindustri Universitas Lampung, Prof. Udin Hasanudin memaparkan berbagai penelitian pada jurnal internasional upaya pemanfaatan limbah SBE dalam skala laboratorium. (Red)
0 Komentar